Jumat, 25 November 2011

Tugas Minggu ke 10 ( Lapisan Sosial dan Kesamaan Derajat )

PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DRAJAT

Pelapisan sosial atau di sebut juga Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis(Pitirim A. Sorokin). Pelapisan sosial kenyataanya dapat di ketahui dalam masyarakat yaitu dengan munculnya kelas-kelas tinggi dan kelas kelas yang lebih rendah.


Adapun pengertian pelapisan sosial menurut P.J. Bouman, pelapisan sosial adalah golongan manusia yang di tandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu. Didalam masyarakat pelapisan masyarakat ini muncul karena gengsi kemasyarakatan sehingga timbulah pembedaan kelas-kelas dalam masyarakat, ada kelas-kelas tinggi yatu mereka yang mempunyai kekuasaan lebih dan hak-hak istimewa di banding dengan kelas-kelas rendah.

Pelapisan sosial merupakan gejala yang umum dalam suatu masyarakat dimanapun dan kapanpun pasti selalu ada Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyebut bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial terjadi. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan.

Jadi dpat kita simpulkan bahwa Pelapisan sosial adalah perbedaan tinggi dan rendahnya suatu kedudukan seseorang dalam kelompoknya, bila dibandingkan dengan posisi seseorang maupun kelompok lainnya. Yang menentukan tinggi dan rendahnya lapisan sosial seseorang itu biasanya disebabkan oleh macam-macam perbedaan, sepertihalnya kekayaan di bidang ekonomi, nilai-nilai sosial, serta kekuasaan dan wewenang.

Mengenai pelapisan sosial saya akan membahas lebih dekat dengan contoh di negeri kita ini, di indonesia kita ini secara tidak langsung terjadi pelapisan sosial antara kalangan atas dan kalangan bawah, kalangan atasnya adalah mereka yang memiliki kekuasaan di pemerintah dan kalangan bawahnya adalah rakyat, kita dapat melihat bahwa pembedaan kelas ini begitu mencolok, contohnya saja dalam penegakan hukum, kesannya di negeri ini pemerintah lebih condong melindungi mereka yang duduk di kursi pemerintahan di banding melindungi keadilan rakyat.

Menurut kenyataan yang terjadi para pejabat negera yang mencuri kesejahteraan rakyat dengan kata lain melakukan Korupsi sangat sulit ditangkap dan di jerat hukum ketimbang rakyat biasa yang melakukan kejahatan misalkan pencurian kecil-kecilan, sekalipun misalkan pejabat negara di tangkap maka yang mereka huni bukan penjara-penjara biasa, akan tetapi penjara bak hotel berbintang.

Dari kasus di atas terlihat sangat mencolok pelapisan sosial antara kelas-kelas atas dan kelas-kelas rendah, dapat terlihat kelas-kelas atas mempunyai wewenang lebih dan kekuasaan lebih ketimbang kelas rendah, dan kesanya semuanya bisa di beli dengan uang termasuk keadilan dapat di beli dengan uang.

Kesamaan derajat adalah suatu sifat yang menghubungankan antara manusia dengan lingkungan masyarakat umumnya timbal balik, maksudnya orang sebagai anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah dan Negara. Hak dan kewajiban sangat penting ditetapkan dalam perundang-undangan atau Konstitusi. Undang-undang itu berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali dalam arti semua orang memiliki kesamaan derajat. Kesamaan derajat ini terwujud dalam jaminan hak yang diberikan dalam berbagai faktor kehidupan.

Pelapisan sosial dan kesamaan derajat mempunyai hubungan, kedua hal ini berkaitan satu sama lain. Pelapisan soasial berarti pembedaan antar kelas-kelas dalam masyarakat yaitu antara kelas tinggi dan kelas rendah, sedangkan Kesamaan derajat adalah suatu yang membuat bagaimana semua masyarakat ada dalam kelas yang sama tiada perbedaan kekuasaan dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara, sehingga tidak ada dinding pembatas antara kalangan atas dan kalangan bawah.

Opini :
Menurut saya pelapisan sosial dalam masyarakat lumrah terjadi, akan tetapi alangkah lebih baiknya diantara masyarakat menghilangkan perbedaan-berbedaan derajat dan mengusung kesamaan derajat sehingga tidak ada lagi ketidak adilan di negeri ini tidak ada lagi pihak yang lebih di untungkan dan pihak yang lebih di pentingkan, yang ada hanya kesamaan hak antar masyarakat.

Hartoyo
17110310
5 KA 25

tugas sostskill minggu ke 9(Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan)

TEKNOLOGI DAN DOKUMENTASI


Perbedaan yang mencolok antara Indonesia dan Amerika adalah teknologi yang dimiliki oleh kedua negara. Amerika menang dari segi teknologi sedangkan Indonesia belum memanfaatkan teknologi dengan maksimal. Indonesia yang dulu diberi sebutan Macan Asia, kini kalah dengan Jepang yang memiliki wilayah sempit dan tanah kurang subur akibat bom atom yang membumihanguskan kota mereka. Negara yang maju adalah negara yang menguasai perkembangan teknologi. Lihat Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea Selatan, bahkan saat ini India, yang dulu hidup dalam kemiskinan, memiliki peradaban (civilization) yang lebih maju dibandingkan negara Indonesia. Semua terjadi karena negara-negara tersebut menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology). Pendidikan dan riset yang intensif adalah kunci kesuksesan keberhasilan negara-negara ini. Perguruan tinggi menjadi ujung tombak suatu negara dalam membantu pengembangan riset. Amerika punya Universitas Illionis, Singapura punya Nanyang University, Jepang punya Tokyo University, dan Malaysia punya University Technology of Malaysia. Lihat saja di Indonesia, cuma ada beberapa universitas yang cukup concern pada riset dan pengembangan teknologi. Para engineer tidak terlalu dihargai di negara kita. Bentuknya adalah minimnya dana yang disediakan pemerintah untuk pengembangan teknologi yang baik. Mungkin saat ini pemerintah hanya berpikir,”Kan teknologi ini belum cocok sama Indonesia saat ini, jadi ga usah diriset”. Lalu apakah setelah teknologi tersebut sudah sangat maju di negara lain, negara kita baru akan mulai belajar? Apapun bentuk teknologi itu, bukan masalah tidak perlu atau perlu, tapi kita berusaha siap untuk menghadapi era teknologi yang lebih maju dari saat ini, salah satu bentuknya adalah dengan menguasai banyak teknologi.
Negara yang maju adalah negara yang terus belajar dan tidak lupa menyalin ilmu yang diperoleh dalam bentuk dokumentasi. Saya pernah berpikir, kalau dari generasi ke generasi setiap individu-individu mempelajari hal-hal yang sama setiap angkatannya, lalu bagaimana kita bisa berkembang? Saya kuliah di tingkat 3 teknik sipil, angkatan di atas saya telah belajar sesuatu yang saya pelajari saat ini, setahun yang lalu. Tahun depan, angkatan di bawah saya akan mempelajari hal yang sama juga yang saya pelajari tahun ini. Tentu kegiatan ini akan berlangsung dari tahun ke tahun tanpa adanya peningkatan ilmu yang berarti. Dokumentasi sangat penting dalam proses pembelajaran.Dengan dokumentasi, siapapun bisa belajar tanpa mengenal usia dan waktu. Bentuk dokumentasi bisa berupa buku, jurnal, tulisan pada blog, dll. Yang populer saat ini adalah publikasi dan dokumentasi lewat media internet. Banyak tulisan dan artikel dengan kualitas bagus yang ditulis dalam bahasa Inggris. Siapapun yang mengerti bahasa Inggris, paling tidak bisa meraih ilmu lebih banyak dibandingkan mereka yang hanya fasih berbahasa Indonesia. Makanya negara yang memakai bahasa Inggris lebih maju. Terakhir India lebih sering menggunakan bahasa Inggris, terlihat dari banyaknya film Bollywood yang kini diproduksi memakai bahasa Inggris. Bagaimana dengan negara kita yang bahasa utamanya adalah bahasa Indonesia? Solusinya ada dua: meningkatkan kemampuan bahasa Inggris atau menyalin serta menerjemahkan ilmu yang banyak ada di dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kan sayang sekali kalau selama kita hidup, kita punya banyak karya, tapi ilmunya sendiri hilang begitu saja ketika kita meninggalkan dunia ini. Lebih bijaksana jika ilmu tersebut disalin dulu ke dalam media tulis agar generasi muda bisa belajar lebih cepat dari pengalaman-pengalaman yang sudah diraih tersebut, apalagi jika ilmu tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia. Selain itu, komputerisasi adalah proses menuju era perkembangan yang pesat. Tidak bisa dipungkiri lagi, perkembangan komputer telah banyak membantu para engineer memudahkan banyak pekerjaan yang rumit. Saya sangat senang programming, namun anehnya banyak teman-teman saya yang tidak suka programming. Padahal, para engineer terdahulu harus bisa programming. Bagi saya programming gampang-gampang susah, sedangkan ilmu dari kampus sangat susah. Bagi teman-teman saya programming memang susah, namun jika kita menguasainya, ilmu yang kita pelajari bisa kita permudah menggunakan programming. Bentuk komputerisasi tidak hanya itu, penggunaan komputer dalam membantu simulasi sangat dibutuhkan. Lihat saja jurusan Astronomi yang membutuhkan komputer untuk simulasi bintang dan benda-benda angkasa. Kesimpulannya, saya mengajak teman-teman untuk ikut serta mengembangkan ilmu yang teman-teman raih saat ini dan jangan lupa untuk mendokumentasikannya.

Hartoyo
17110310
5 KA 25

tugas sostskill minggu ke 8(agama dan masyarakat)

Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur

Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatannya pada simbol-simbol agama dan pada keyakinannya akan fungsi sosial agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan memberi rasa aman oleh kepastian dalam membuat pemaknaan atas peristiwa-peristiwa kehidupan bagi pemeluknya secara eksklusif. Keunikan ini sangat kentara ketika selalu ada kelompok dalam masyarakat yang senantiasa memberikan posisi bagi agama dalam ruang publik yang seharusnya dikonstruksi menjamin keleluasaan yang terbuka bagi semua ekspresi dan pemaknaannya.

Pendidikan agama yang masuk dalam ruang sekolah salah satu contoh kuatnya agama dalam mengambil posisi dalam ruang publik masyarakat Indonesia. Pendidikan agama dalam ruang -publik sekolah resmi hadir sejak 29 Desember 1945, ketika Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan yang berhasil merumuskan sistem dan kurikulum pendidikan Sekolah Menegah Pertama yang menggantikan Sekolah Menengah yang diciptakan Jepang. Pada masa itu pendidikan agama telah masuk dalam kurikulum SMP meskipun sebelumnya Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan telah menyampaikan sikapnya yang sangat pesimis dengan mengatakan,”agama dalam pengajaran di sekolah adalah soal lama dan terus-menerus menjadi persoalan yang sulit”. Kesulitan ini terutama karena bagi Ki Hajar “ada tuntutan supaya sifat keagamaan tadi diberi bentuk yaitu ‘pengajaran agama’, yang mana hakikat syariat agama diberi bentuk yang pasti dan tertentu” .

Faktor keyakinan masyarakat akan kekuatan agama dalam fungsi sosial yang antara lain didesakkan melalui tuntutan akan pendidikan agama di sekolah tidak saja didesakkan oleh kelompok penganut agama. Dalam perkembangannya, pendidikan agama di ruang sekolah juga dimaknai sebagai pendidikan untuk menghalau ‘pengaruh komunis’, ketika rezim Soeharto secara sistematis menggiring warganegara menggunakan ‘stempel’ agama yang dibatasi lima macam agama. Demikian hingga kini pendidikan agama turut mewarnai format hubungan agama dan negara yang masih dalam proses pencarian model yang paling mewadahi aspirasi masyarakat sekaligus diharapkan bisa mendukung pendewasaan dalam berbangsa dan bernegara.

Persoalannya, ketika pendidikan agama yang masing-masing sudah ‘tertentu’ harus masuk dalam ruang sekolah umum, pendidikan agama seperti apa yang bisa memungkinkan untuk mendukung peningkatan kesanggupan mengelola keragaman sebagaimana dibutuhkan dalam proses pendewasaan berbangsa dan bernegara?

Sudut Pandang dan Level Persoalan

Mengkaji masalah pendidikan agama dalam masyarakat multikultur, hal yang penting dilakukan adalah melihat masalah dari beragam sudut pandang. Satu sisi tidak bisa diabaikan adanya kelompok masyarakat yang senantiasa membutuhkan pegangan dalam ketidakpastian hidup yang mereka andaikan bisa terjawab oleh agama. Pengajaran agama oleh kelompok masyakat ini diyakini sebagai cara yang penting untuk membekali generasi muda dengan model hidup yang aman berdasarkan ajaran agama yang dianggap benar secara absolut.

Di sisi lain wacana keagamaan yang direproduksi dalam ruang-ruang kelas bagi generasi muda-peserta didik seringkali dirasa membosankan, karena hanya berisi hal-hal yang sudah tertentu dan pasti yang kadang harus dihafal, tetapi tidak menyentuh kegelisahan mereka sehari-hari. Wacana keagamaan yang mengandung pengandaian bahwa masyarakat adalah monokultur juga menghasilkan sikap yang gamang, ambigu bahkan tidak toleran dalam menghadapi perbedaan.

Para guru agama yang penuh dedikasi kebanyakan berfikir dan berbicara dengan referensi dunianya dan para siswa sudah mempunyai referensi pengalaman hidup yang berbeda. Ada sedikit guru agama yang mau berdialog dalam perbedaan dunia mereka dan dunia generasi muda, tetapi lebih banyak yang secara tidak sadar, guru agama -sebagaimana guru-guru pada umumnya–menempatkan diri sebagai penguasa kelas yang menganggap diri mempunyai otoritas penuh atas kebenaran yang senantiasa dibawakan dengan metode yang monoton.
Dalam pendidikan agama di sekolah sering terjadi kebuntuan komunikasi antara guru dan peserta didiknya. Mulai banyak guru mengeluh bahwa anak jaman sekarang tidak menyukai pelajaran agama. Tanpa mempertimbangkan petode pembelajaran yang monoton dan tidak peduli dengan kebutuhan peserta didik, para guru benyak yang mempersoalkan jam pelajaran yang hanya dua jam dan pelajaran agama yang tidak lagi dianggap penting oleh sistem karena tidak diujikan dalam ujian nasional.

Dalam situasi ini para siswa yang kegelisahannya tidak terjawab dalam pelajaran agama, tentu saja mereka mencari di banyak sumber, diantara mereka ada yang berminat pada kelompok-kelompok kegiatan keagamaan di luar sekolah yang adakalanya mempunyai motivasi politik. Meski wacana keagamaan yang dikembangkan dalam kegiatan keagamaan di luar kelas pelajaran agama dan bermotif politik ini sering membingungkan generasi muda karena sangat puritan, tertutup dan wewenang penafsiran dan pengajarannya sangat hierarkis, tetapi karena metode dan pembawaan pengajarnya menarik, kegiatan ini berkembang dan jaringannya makin luas antar sekolah dan universitas.

Sesungguhnya kita mendapatkan gambaran bahwa pendidikan agama yang berlangsung ini tidak bisa memberi jaminan bahwa apa yang diharapkan oleh para pendukung pendidikan agama disekolah akan terpenuhi. Apalagi ketika pendidikan agama di sekolah umum pengelolaanya diserahkan pada sistem yang dari sisi paradigmatis mestinya sangat berbeda. Yang saya maksud perbedaan di sini adalah, misalnya dalam pelajaran IPA atau IPS titik tekanan pada aspek kogniti saja masih bisa atau dianggap memungkinkan. Tetapi untuk pelajaran agama yang dalam tujuannya adalah membentuk karakter atau ahlak, bagaimana mungkin terjadi ketika penekanan dalam pembelajaran hanya pada salah satu aspek dari kepribadian?

Maka sesungguhnya masalah pendidikan agama di sekolah terbelit dalam tiga level persoalan yang masing-masing mengandung kerumitan. Pertama pada level idiologi berbangsa dan bernegara yang masih menunggu evaluasi dari pengalaman hidup bersama yang membutuhkan waktu yang cukup untuk mendorong adanya kebulatan tekad mengambil sebuah idiologi yang jelas dan lugas yang menyokong kebersamaan yang multikultural.

Level kedua adalah pada sistem pendidikan yang dikelola oleh negara yang dalam kebijakannya sangat dipengaruhi situasi di level ketiga yaitu level kultural dan tekanan pasar. Pendidikan agama di sekolah menyesuaikan ketentuan sistem, hingga pada model evaluasi yang menggunakan angka-angka untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan. Siapa pun akan mudah tergelitik dengan model evaluasi ini untuk kasus pendidikan agama, tetapi bila sampai terfikir untuk diubah maka tidak bisa diubah sebagian. Belum lagi soal kesiapan guru untuk mengelola pembelajaran yang sungguh-sungguh berdampak dalam pembentukan karakter dan ahlak, diperlukan guru yang inspiratif dan kreatif.

Pada level kultural dimana terdapat saling kait urusan kesejahteraan, pendidikan, akses pada informasi dan pengalaman akan keragaman yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan wacana keagamaan dan pemikiran tentang pengelolaan perbedaan. Tidak bisa disangkal bahwa pada level ini prasangka antar kelompok agama dan keyakinan masih cukup kuat bahkan mempengaruhi kebijakan publik-keagamaan misalnya dalam soal pendirian rumah ibadah dan pengaturan tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah yayasan keagamaan.

Bila pendidikan agama terbelit dalam tiga level ini maka untuk mengkaji dan mengurainya kiranya perlu mempertumbangkan tiga level persoalan ini.

Praktek Pendidikan Agama di Sekolah

Terdapat tiga karakter sekolah yang terkait dengan pendidikan agama di sekolah. Pertama sekolah negeri, kedua sekolah swasta umum non yayasan agama dan sekolah swasta yayasan agama dan sekolah calon ahli atau pimpinan agama seperti madrasah dan seminari. Varian karakter ini awalnya terbentuk karena perbedaan sumber pembiayaan, pengawasan dan otonomi sekolah, serta misi dan intervensi pada kurikulum. Dalam perkembangannya dinamika sekolah juga turut mempengaruhi karakter sekolah. Tiga karakter ini pada akhirnya juga terkait dengan persoalan multikulturalisme dalam masyarakat.

Pada sekolah negeri dan sekolah swasta umum non yayasan keagamaan, pada jam pelajaran agama siswa dipisah menurut agama yang berbeda-beda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama di sekolah seperti ini belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa pemisahan siswa pada jam pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan penanaman kesadaran bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan (kebersamaan) manusia.

Pada tahun 2004 kami menyebar angket pada 958 anak SD kleas 4, 5 dan 6 di 11 SD di Kota Madya Jogjakarta, 896 siswa SMP pada 9 sekolah dan 983 siswa SMA di 11 sekolah. Salah satu data yang terkait dengan pemisahan siswa berdasarkan agama ini adalah dalam penjawab pertanyaan tenang kesan tentang agama lain, makin tinggi tingkat sekolahan, makin besar jumlah jawaban yang khawatir pada agama lain . Data kedua adalah data dari diskusi kelompok terfokus di SMP Negeri 8. Ketika dilempar pertanyaan tentang apakah seorang penganut suatu agama boleh mengerti agama yang dianut orang lain, peserta diskusi yang menjawab dengan santai bahwa tidak ada masalah seseorang penganut agama memahami agama orang lain dengan berbagai argumentasi pengalaman adalah siswa-siswa kelas 1, sedangkan siswa kelas 2 menolak dengan mengatakan hal itu tidak perlu , bagimu agamamu bagiku agamaku dan beberapa siswa kelas dua menolak dengan sangat emosional . Data ini menjadi bukti bahwa pemisahan kelas mempunyai pengaruh dalam kenyamanan berelasi.

Di kalangan peserta didik di sekolah Negeri pelajaran agama berlangsung lebih teratur dan siswa beragam agama hampir selalu mendapatkan guru pelajaran agama sesuai dengan keyakinan para siswa karena secara umum pemerintah mengusahakan guru agama bagi semua peserta didik. Sebagai milik pemerintah, semua aktifitas pembelajaran di sekolah negeri mengikuti secara penuh apa yang menjadi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.

Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta didiknya menjadi ahli agama atau pemimpin agama seperti di madrasah atau seminari, seluruh kegiatan pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk mendukung tujuan pendidikan yang ada. Sayangnya keseriusan pada satu bidang ini menyebabkan kecenderungan kurang terbuka bagi pergaulan yang lebih luas, yang dengan demikian membatasi pengalam dengan keragaman juga. Minimnya pengalaman akan keragaman perlu dikaji apakah ada kaitannya dengan sensitivitas pada yang berbeda. Sensitivitas pada yang berbeda hanya akan berkembang ketika ada pengalaman dengan yang berbeda dan menggerti adanya perspektif yang berbeda juga.

Di sekolah umum yayasan keagamaan di mana biaya operasional secara umum ditanggung oleh yayasan dan wali murid, terdapat kebijakan sekolah yang menunjukkan keunikan yayasan. Keunikan ini tampak dalam penerimaan guru, hingga tambahan pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler yang mewadahi pemenuhan misi yayasan keagamaan melalui pendidikan. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah lebih banyak pada soal jaminan kualitas pendidikan, tetapi umumnya tidak menyentuh pada soal keunikan sekolah yayasan keagamaan. Baru menjelang penetapan Undang-Undang no.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, banyak sekolah di bawah yayasan keagamaan yang merasa otonominya diganggu terutama berkaitan dengan pasal 13 yang mewajibkan semua sekolah memberikan pelajaran agama yang sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa. Hingga tahun 2009 ini banyak sekolah yayasan keagamaan yang tidak bisa memenuhi tuntutan pasal 13 UU no,20 tahun 2003 itu karena alasan teknis pembiayaan guru dan alasan lain adalah menolak pelanggaran otonomi yayasan yang merasa tidak memaksa siswa untuk masuk ke sekolah yang mempunyai keunikan tertentu.

Sekolah umum di bawah yayasan non keagamaan dan keagamaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk membuat eksperimentasi pendidikan agama yang salah satunya bisa menjadi tanggapan atas masyarakat yang multikultural. Sebagai contoh adalah SMA BOPKRI 1 Jogjakarta yang tidak menggunakan cara pemisahan siswa pada jam pelajaran agama, karena di sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kristen ini tidak memberikan pelajaran agama Kristen Protestan, tetapi yang diberlakukan adalah pelajaran Komunikasi Iman. Pada pelajaran ini siswa dari berbagai agama belajar bersama tentang tema-tema yang ditentukan bersama oleh para siswa. Metode active learning dan refleksi menjadikan siswa penganut suatu agama akan menjadi penanggung jawab tema yang sesuai dengan agamanya, yang terdorong mendalami agamanya teteapi pada saat yang sama bisa memahami agama lain.

Konsesuensi dari pendidikan komunikasi iman ini perlunya paradigma yang sangat berbeda. Hal yang saat ditemui dalam pembelajaran agama Islam yang diampu oleh Ibu Anis Farikhatin di SMA PIRI 1 Jogjakarta yang menggunakan metode active learning dan refleksi dalam mengangkat tema pengalaman hidup yang terkait dengan mata pelajaran yang diadaptasi dari kurikulum yang ada. Demi memenuhi kebutuhan belajar pada pengalaman dalam pelajaran agamanya, Bu Anis tidak segan mengundang guru agama Hindu, Budha atau Kristen ke kelasnya dan menjadikan kehadiran yang berbeda sebagai cara menghadirkan kenyataan hidup yang penuh keragaman.

Tanggapan Masyarakat atas kebijakan Pendidikan

Dalam kacamata multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk mengikuti salah satu dari lima macam pendidikan agama, bagi para penganut agama dan kepecayaan di luar agama resmi adalah memutus generasi penerus penganut agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari pendidikan agama yang dibatasi berdasarkan agama yang dianggap resmi oleh pemerintah ini terasa setelah beberapa generasi. Namun hingga saat ini belum ada pihak penganut agama yang termarjinalkan secara sistematis mempersoalkan pelajaran agama yang pada masa pemerintahan Soeharto menjadi salah satu syarat kenaikan kelas.

Namun ketika pelajaran agama tidak lagi menentukan kelulusan dan tidak menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional pun tidak ada tanggapan yang kontra.

Saat ini ketika generasi yang mengalami pendidikan agama yang memisahkan siswa karena berbeda agama telah menjadi dewasa, sekat antaranggita masyarakat pun makin terasa. Para orang tua yang tidak puas dengan pendidikan agama di sekolah yang dua jam mengirim anak-anaknya ke sekolah terpadu yang jam pelajaran agamanya jauh lebih banyak. Anak-anak makin berkurang pengalaman bermainnya dan berkurang juga kesempatan bertemu dan mengalami kebersamaan dengan orang-orang yang berbeda.

Sementara di sisi lain Pak Sartana guru agama yang membawakan pelajaran komunikasi iman mendapat sambutan dari para orang tua siswa karena telah menemani anak-anak mereka lebih masuk pada lika-liku kehidupan yang mendewasan bagi anak-anaknya. Meski model pembelajaran pada komunikasi Iman membingungkan bagi pengawas pendidikan, pemerintah tidak bisa menghentikan ekperimentasi yang dilakukan oleh Pak Sartana, terutama karena dukungan masyarakat.

Rekomendasi

Pendidikan agama yang dibutuhkan dalam masyarakat multikultur adalah pendidikan agama yang senantiasa menghadirkan kehidupan yang penuh keragaman, baik latar belakang manusia maupun keragaman sudut pandang. Untuk itu pelajaran agama sebaiknya berbasis pengalaman akan memecah kebekuan ajaran agama yang tertutup dan tidak melihat realitas secara hitam putih. Di sekolah yang melakukan pemisahan siswa beda agama pada jam pelajaran agama perlu ada antisipasi agar pemisahan tidak berpengaruh buruk pada rasa aman dan nyaman dengan penganut agama yang berbeda. Hilangnya rasa aman dan nyaman akan merusak saling percaya antar anggota masyarakat yang mana saling percaya ini merupakan modal sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama yang adil dan beradab.

Pendidikan agama berbasis pengalaman meniscayakan perubahan paradigma dalam melihat relasi guru-peserta didik maupun dalam melihat sumber belajar serta proses pembelajaran. Pengalaman hanya mungkin menjadi sumber belajar ketika guru dan murid merasa setara, masing-masing merasa mempunyai kelebihan dan kekuarangan untuk mengkaji bersama dengan berbagai sudut pandang. Dalam menilai keberhasilan atau kegagalan belajar, pendidikan agama membutuhkan model evaluasi yang tidak menggunakan angka, tetapi harus didasarkan pada praktek hidup yang partisipatif dan bertanggungjawab pada diri sendiri dan lingkungan. Penilaian bukan dengan angka tetapi narasi yang menunjuk pada kualitas.

Pelajaran agama untuk siswa dari beragam agama bisa dilakukan dengan saling berbagi pengalaman penghayatan keimanan, berbagi informasi dan pengetahuan siswa tentang agamanya. Cara belajar seperti ini mendorong siswa untuk lebih aktif dan bertanggung jawab dalam mendalami agamanya dan pada saat bersamaan membiasakan sikap hormat dan simpati bagi penganut agma yang berbeda.

Untuk menghadirkan paradigma baru dalam pembelajaran agama dibutuhkan guru-guru yang mau terbuka untuk senantiasa belajar. Disamping kenaikan gaji guru, yang lebih penting untukdiusahakan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen guru dalam memasilitasi peserta didiknya mengembangkan dan mendewasakan kepribadian serta karakternya.

Hartoyo
17110310
5 KA 25

tugas softskill minggu ke 7(masyarakat perkotaan dan pedesaan)

"KEHIDUPAN KOTA DAN DESA"

 Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok atau sekumpulan manusia atau individu yang menempati suatu wilayah tertentu dalam jangaka waktu yang lama dan mempunyai suatu tujuan yang sama dan memiliki hubungan baik secara keseluruhan maupun dengan cakupan wilayah. Dari pengertian diatas dapat kita menjadi dua, yaitu pengertian sempit dari masyarakat bahwa masyarakat sekelompok individu yang berada dalam suatu wilayah tertentu dan dalam arti luas bahwa masyarakat kumpulan individu yang memiliki hubungan tanpa memperhatikan wilayah dan tertori.

Tentunya baik dalam arti sempit maupun arti luas Masyarakat memiliki syarat tertentu diantaranya :
• Masyarakat harus merupakan kumpulan individu atau kelompok yang banyak dan bukan binatang.
• Individu-individu dalam masyarakat harus saling berhubungan
• Telah lama tinggal di suatu wilayah dalam waktu yang cukup lama.
• Adanya suatu aturan atau undang-undang yang mengatur mereka agar dapat tercapainya tujuan maupun cita-cita bersama
• Ada sistem tindakan utama.
• Saling setia pada sistem tindakan utama.
• Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
• Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.

Dari pernyataan diatas masyarakat akan dikelompokkkan menjadi dua bagian yaitu masyarkat kota dan masyrakat desa. Dari pengelompokan tersebut akan menceritakan sisi dan perbedaan antara kehidupan dari masyarakat kota dan masyarakat desa.

 Kehidupan Masyarakat Kota
Pengertian dari masyarakat perkotaan lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan juga sering disebut urban community. Masyarakat perkotaan memiliki suatu ciri-ciri tertentu.
Ciri-ciri dari masyarakat kota adalah sebagai berikut :

• Perilaku heterogen
• Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
• Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
• Mobilitas sosial,sehingga dinamik
• Kebauran dan diversifikasi cultural
• Sudah mengenal teknologi yang tingggi cepat menerima kemajuan
• Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular.
• Kehidupan agama kurang dibandingkan dengan masyarakat desa
• Individualisme yang tinggi
• Pembagian kerja yang nyata dan tegas
• Peluang mendapatkan pekerjaan lebih mudah daripada masyarakat desa.
• Efisiensi waktu

Dalam kehidupan masyarakat perkotaan terdapat 5 unsur lingkungan yang dapat menunjang pertumbuhan kehidupan di kota, yaitu :

- Wisma
- Karya
- Marga
- Suka
- Penyempurnaan

Kota juga dituntut memberikan fungsi dan peranan terhadap pengembangan wilayah dan daerahnya, baik dalam skala regional ataupun nasional. Pengembangan tidak hanya mencakup wilayahnya saja ini adalah fungsi eksternal dari kota.

 Kehidupan Masyarakat Desa
Pengertian dari desa adalah kesatuan wilayah yg dihuni oleh sejumlah keluarga yg mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Ciri-ciri dari desa adalah :
• Hubungan antara individu saling mengenal
• Kehidupan ekonomi biasanya pada bidang agraris
• Adanya sifat kekeluargaan antar masyarakat
• Perilaku homogen.
• Kolektivisme.
• Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan.
• Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status.
• Isolasi sosial, sehingga statis.
• Kesatuan dan keutuhan cultural.
• Bersifat statis, artinya kemajuan sangat lambat.
• Banyak ritual dan nilai-nilai sacral

Sifat masyarakat desa yang paling menonjol adalah Interaksi antar anggota masyarakat itu sangat erat sekali, tidak seperti kota yg meiliki individualisme yang tinggi. Kehidupan de desa biasanya juga rukun, tentram dan damai, atau istilahnya dapat dikatakan adem ayem. Orang mengira bahwa masyarakat desa itu sangat tradisional, akan tetapi pada kenyataannya tidak. Pada hakikatnya masyarakat di desa tidak jauh berbeda dengan masyarakat kota. System pembagian kerja di desa juga sudah tertata rapi, ada spesialisasi dalam pekerjaan. Desa adalah penunjang dari kota, karena kebanyakan mata pencaharian masyarakat desa kebanyakan di bidang agraris. Hasil dari mata pencaharian mereka sangat dibutuhkan sekali oleh masyarakat perkotaan. Sifat kekeluargaan di desa menghasilkan sebuah kegiatan kerjasama yang dapat menambah rasa persaudaraan dan juga efisiensi pekerjaan yaitu gotong royong. Gotong royong dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

- Gotong royong dalam pekerjaan yang timbul oleh inisiatif dari dalam anggota
- Gotong royong dalam pekerjaan yang timbul oleh inisiatif dari luar anggota

 Perbedaan Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Dilihat dari kedua kehidupan masyarakat ini baik kehidupan kota maupun desa, kedua-duanya memiliki kelebihan maupun kekurangan. Namun dalam kedua masyarakat ini terdapat fakta-fakta yang sangat membedakan antara kehidupan kota dan desa Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Ciri-ciri tersebut antara lain :

1. Jumlah dan kepadatan penduduk. Meskipun tidak ada ukuran pasti, kota memiliki pendudukan yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan desa. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan kepadatan penduduk, yaitu jumlah penduduk yang tinggal pada suatu luas wilayah tertentu, misalnya saja jumlah per KM2 (Kilometer persegi) atau jumlah per hektar.

2. Kedudukan Ketua RT, RW, dan Lurah sangat tinggi dan disegani pada masyarakat desa. Masyarakat desa menganggap mereka sebagai pimpinan masyarakat yang harus dicontoh dan teladani. Sedangkan pada kehidupan kota Ketua RT, RW dan Lurah merupakan kedudukan stuktural yang tidak memiliki nilai pada masyarakat, bahkan dianggap sebagai pesuruh untuk membuat surat-surat tertentu.

3. Masyarakat desa sangat sulit menerima perubahan-perubahan sosial berbeda dengan masyarakat kota, namun apabila masyarakat desa menerima perubahan sosial tersebuat maka mereka akan menerimanya secara total tanpa menyaring baik atau buruknya.

4. Biasanya Masyarakat Desa menyimpan atau menumpuk hartanya dalam bentuk tanah persawahan sedangkan masyarakat kota mempercayakan hartanya pada simpanan BANK berbentuk Deposito atau lainnya.

5. Pendidikan menjadi prioritas utama bagi masyarakat kota sedangkan bagi masyarakat desa terkadang pedidikan kurang menjadi prioritas yang penting mereka dapat bekerja dan menghasilkan uang.

6. Masyarakat Kota akan menikah apabila mereka sudah cukup mapan untuk menafkahi keluarganya kelak, sedangkan masyarakat desa kalau sudah dewasa maka mereka akan menikah walaupun mereka belum mapan.

7. Masyarakat desa masih meyakini bahwa banyak anak akan membawa rezeki, berbeda dengan Masyarakat kota yang menunda punya anak apabila belum menginginkanya.

8. Masyarakat desa sangat peduli dengan masalah tetangganya sedangkan masyarakat kota sangat tidak peduli karena bagi mereka urusan personal merupakan hak privasi mereka
Itulah mungkin beberapa fakta yang memperlihatkan perbedaan antara kehidupan desa dan kehidupan kota, mungkin masih banyak lagi fakta-fakta yang lainnya yang belum bisa dijelaskan. Yang pasti dari fakta-fakta tersebut kita dapat mengetahui kebiasaan mana yang menjadi kultur yang baik dan kebiasaan mana yang menjadi suatu kultur yang buruk.

Tentunya kita sekarang ini sebagai generasi yang berwawasan, kita harus mengambil kultur yang baik dari kehidupan desa dan kota dan menggabungkannya sehingga akan terbentuk sebuah kultur kehidupan yang nyaman dan aman serta kondusif bagi kehidupan kita.

Aspek positif dan negative dari kota
Aspek positif dari kota :
1. Masyarakat kota dapat menerima perkembanggan zaman.
2. Masyarakat kota lebih mendapatkan kehidupan yang layak dibandingkan masyarakat desa karena tidak tergantung dalam satu bidang pekerjaan saja.
Aspek negatif kota :
1. Terbentuknya sub-urban.
2. Makin meningkatnya tuna karya, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap.
3. Pertambahan penduduk kota yang pesat menimbulkan masalah perumahan.
4. Lingkungan hidup yang sehat, apalagi ditambah dengan adanya berbagai kerawanan sosial memberi pengaruh yang negatif terhadap pendidikan generasi muda.

Hartoyo
17110310
5 KA 25

togas softskill minggu ke 6

Prasangka dan Diskriminasi

Sikap yang negatif terhadap sesuatu disebut prasangka. Walaupun dapat kita garis bawahi bahwa prasangka dapat juga dalam pengertian positif. Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan cukup mencolok ? Tampaknya kepribadian dan intelegensia juga faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka.

Namun belum jelas benar ciri-ciri kepribadian mana yang membuat seseorang mudah berprasangka. Sementara pendapat menyebutkan bahwa orang yang berintelekgensi yang tinggi, lebih suka berprasangka. Mengapa? karena orang-orang macam ini bersifat dan bersikap kritis. Kondisi lingkungan/wilayah yang tidak mapan pun cukup beralasan untuk dapat menimbulkan prasangka suatu individu atau kelompok social tertentu.

Dalam kondisi persaingan untuk mencapai akumulasi materiil tertentu, atau untuk meraih status sosial bagi suatu individu atau kelompk social tertentu, pada suatu lingkungan/wilayah dimana norma-norma dan tata hukum dalam kondisi goyah, dapat merangsang munculnya prasangka dan diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan kepada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap berprasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu dan tidak dapat dipisahkan.

Seorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Demikian juga sebaliknya,seseorang yang berprasangka dapat saja berprilaku tidak diskriminatif. Di Indonesia kelompk keturunan Cina sebagai kelompok minoritas,sering menjadi sasaran rasial,walaupun secara yuridis telah menjadi warga Negara Indonesia dan dalam UUD 1945 BAB X Pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga Negara mempunyai kedudukan yang sama adlam hukum dan permerintahan.

Sikap berprasangka jelas tidak adil,sebab sikap yang diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar.Apabila muncul suatu sikap yang berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok social lain,atau terhadap suatu suku bangsa,kelompk etnis tertentu,bias jadi akan menimbulkan pertentangan² social yang lebih luas.Suatu contoh:beberapa peristiwa yang semula menyangkut berapa orang saja,sering menjadi luas,melibatkan sejumlah orang.Akan menjadi riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas,sehingga melibatkan orang² disuatu wilayah tertentu,yang diikuti dengan tindakan² kekerasan dan destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian yang tidak kecil.

Contoh lain:prasangka diskriminasi ras yang terjadi di Afrika Selatan,prasangka Negara Israel dengan negara² di Timur Tengah berkebang menjadi pertentangan social.Contoh factual lain berkisar pada tahun 1985 orang² Papua Nugini sebagai tetangga dekat Indonesia pernah berprasangka bahwa Negara Indonesia melewati tapal batas wilayah Papua Nugini.Fakta dilapangan memang meyakinkan bahwa terdapat ribuan orang dari provinsi Papua masuk ke Negara Papua Nugini.Setelah hasil pengusutan dan hasil penelitian dipelajari dengan seksam oleh pemerintah ,ternyata ada perusuh dam pembangkang terhadap pemerintah Indonesia.


SEBAB-SEBAB TIMBULNYA PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Berikut ini adalah beberapa sebab yang menimbulkan prasangka dan diskriminasi, yaitu :
a. Berlatar belakang sejarah.
b. Dilatar belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional.
c. Bersumber pada factor kepribadian.
d. Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan,kepercayaan dan agama.

DAYA UPAYA UNTUK MENGURANGI/MENGHILANGKAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Daya upaya untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Perbaikan kondisi social ekonomi
b. Perluasan kesempatan belajar
c. Sikap terbuka dan sikap lapang

ETNOSENTRISME
Suku bangsa, ras cenderung menganggap budaya mereka sebagai salah suatu yang prima, riil, logis, sesuai dengan kodrat alamdan sebagainya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki dipandang sebagai suatu yang kurang baik,kurang estetis, bertentangan dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal yang disebutkan diatas disebut ETNOSENTRISME yaitu,suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.

Etnosentrisme sepertinya memang merupakan gejala social yang universal,dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterprestasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam komunikasi. Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap dasar Chauvinisme pernah dianut oleh orang-orang Jerman pada zaman NAZI Hitler. Mereka merasa dirinya lebih superior, lebih unggul dari bangsa-bangsa lain,dan memandang bangsa lain sebagai inferior, lebih rendah, nista dsb.

Hartoyo
17110310
5 KA 25

tugas sostskill minggu ke 5(warga negara dan negara)

Kewajiban Bela Negara Bagi Semua Warga Negara Indonesia - Pertahanan Dan Pembelaan Negara

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara." dan " Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang." Jadi sudah pasti mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam.

Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara :
1. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.
2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
4. Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI.
5. Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI.
6. Amandemen UUD '45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3.
7. Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti :
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.

Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan dan kesatuan NKRI.

Beberapa jenis / macam ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan negara :
1. Terorisme Internasional dan Nasional.
2. Aksi kekerasan yang berbau SARA.
3. Pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut, udara dan luar angkasa.
4. Gerakan separatis pemisahan diri membuat negara baru.
5. Kejahatan dan gangguan lintas negara.
6. Pengrusakan lingkungan.

Tambahan :
Hati-hati pula dengan gerakan pendirian negara di dalam negara yang ingin membangun negara islam di dalam Negara Indonesis dengan cara membangun keanggotaan dengan sistem mirip mlm dan mendoktrin anggota hingga mereka mau melakukan berbagai tindak kejahatan di luar ajaran agama islam demi uang. Jika menemukan gerakan semacam ini laporkan saja ke pihak yang berwajib dan jangan takut dengan ancaman apapun.


Hartoyo

17110310

5KA 25

tugas softskill

Wanita Dalam Keindahan Sebuah Kesetiaan

Kesetiaan adalah sebuah karya seni dari batin manusia yang dapat sangat membahagiakan manusia yang lain. Harganya tidak tertera dalam hitungan rupiah. Dan kesetiaan itulah yang teramat sangat langka untuk kita jumpai sekarang ini.

Kesetiaan tidak hanya berlaku hanya kepada hubungan suami dan istri, namun pada semua hubungan hati manusia lengkap dengan kepentingan mereka.

Tanyalah pada setiap batin manusia, betapa mereka pasti akan membutuhkan seseorang yang dapat dengan tulus memberikan kesetiaan kepada diri mereka.

Tapi mengapa disisi lain, ketika manusia ditempatkan pada posisi dimana dia harus memenuhi kepercayaan orang lain, atau dengan kata lain demi membahagiakan diri orang lain, seringkali manusia terjebak pada godaan main api tentang bagaimana menyalahi kesetiaan tersebut. Begitulah, bagaimanapun ceritanya, setan tak akan pernah henti membuat manusia berdosa.

Maka dari itu, dari pada kita sendiri sibuk menuntut orang lain untuk selalu memegang amanah serta kepercayaan yang kita berikan kepadanya, maka mengapa kita tidak lebih baik mewujudkan diri kita sendiri sebagai hadiah terindah yang membahagiakan mereka. Sebuah pelatihan yang baik yang akan memberikan kenyataan praktek yang indah dalam kesetiaan, adalah apabila diri kita sendiri secara sadar mengerti tentang indahnya sebuah kesetiaan.

Karena kesetiaan hanya dimiliki oleh pribadi yang mulia, karena kesetiaan itu mencerminkan pribadinya yang begitu luas menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain. Jiwanya yang luas menuntunnya tersenyum dan tetap berpikir positif tentang segala apa yang telah Allah gariskan kepadanya.

Karena kesetiaan hanya dimiliki oleh pribadi dengan jiwa yang kuat. Lihatlah betapa anggun tentang caranya bertahan menghadapi segala apa yang disuguhkan kepadanya. Dan sudah lumrah bila manusia dilengkapi rasa bosan, namun sebuah pelajaran tentang kesetiaan, telah mengajarkan manusia yang dilengkapi atau melengkapi batinnya dengan hal tersebut, untuk berubah menjadi ajaib dimana dengan caranya yang elegan, akan di ubahnya rasa bosan menjadi hal yang menyenangkan.

Karena kesetiaan hanya dimiliki oleh jiwa yang indah. Betapa sangat sulit ketika seseorang ditetapkan pada keadaan dimana dia harus tetap pada sebuah kesetiaan yang terkelilingi oleh keadaan yang serba berkhianat. Memang pahit pada awalnya karena dengan hal ini, dia `terpaksa` untuk pelatihan mengindahkan jiwa dan kalbunya sendiri, demi tetap pada kesetiaan.

Menjadi setia adalah memberi kedamaian kepada siapapun yang kita setia kepadanya. Menjadi setia adalah tetap menyenangkan kepada siapapun yang kita setia kepadanya. Menjadi setia adalah sebuah karunia tak terhingga bagi siapapun yang dikehendaki Allah untuk memilikinya.

Maka milikilah hak paten dari sebuah kesetiaan, yaitu dengan menjadi setia hamba Allah yang tetap lurus, atau berusaha agar selalu tetap lurus dalam keadaan apapun. Adakah yang lebih indah dari sebuah perangai dan tingkah laku seorang hamba yang hatinya tunduk patuh serta mengabdi kepada Robbnya?. Jatuh bangun adalah sesuatu yang pasti dalam sebuah mentraining diri menjadi setia, tapi yang pasti pula, bahwa sebuah perjuangan pastilah ada akhirnya, dan semoga akhir dari pribadi yang sungguh setia adalah beroleh dengan Surga. Insyaallah.


Hartoyo

17110310

5 KA25

tugas softskill

MAKNA CINTA, KASIH SAYANG DAN PACARAN

Memasuki bulan Pebruari setiap tahunnya, dunia ini seakan-akan hanya satu warna. Mall, Pusat Perbelanjaan, dan beberapa tempat-tempat yang biasanya ramai dikunjungi orang biasanya ditata dengan dominan warna pink yang oleh sebagian besar masyarakat khususnya generasi muda menyebutnya sebagai warna kasih sayang. Tempat-tempat hiburan pun hanya menyajikan lagu-lagu yang bertemakan kasih sayang, percintaan, dan pacaran. Tulisan yang sering terbaca hanyalah cinta or love.

Memang, 14 Pebruari, bagi orang barat dirayakan sebagai hari kasih sayang yang lebih dikenal sebagai “Valentine day”. Tapi entah kenapa, budaya valentine day ternyata juga telah terjangkit bagi sebagian remaja Islam Indonesia?

Tak dapat dipungkiri, kasih sayang adalah pemberian Allah SWT kepada hamba-Nya. Dari sifat ke-Maha Sucinya Allah, kasih sayang itu memunculkan cinta sebagaimana pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”. Bentuk cinta tidak dapat diterka, tetapi dampaknya luar biasa. Cinta adalah software yang Allah SWT ciptakan pada manusia, yang dapat mengangkat harkat manusia jika manusia itu berhasil mengemas cinta yang tepat dijalan-Nya. Akan tetapi, kenyataannya tidak sedikit ada kemaksiatan, perzinahan yang muncul atas nama cinta.

Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat : 13 menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia laki-laki dan perempuan lalu dijadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Firman Allah SWT tersebut merupakan suatu bukti diakuinya hubungan antar manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kendati demikian, kita tetap dituntut untuk mengutamakan hubungan dengan Allah (Hablun Minannas, wa Hablun Minallaah).

Rasa kasih sayang dan cinta terhadap lawan jenis yang merupakan karunia-Nya, harus disyukuri dengan memanfaatkannya melalui upaya penting yang tidak bertentangan dengan hukum-Nya. Dengan demikian, cinta terhadap lawan jenis bukan suatu yang terlarang dalam Islam. Jadi, laki-laki mencintai perempuan bergitupun sebaliknya itu dijamin 100% halal sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran : 14 yang artinya “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang dicintai yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah-ladang. Itulah kesenangan didunia dan Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.

Jika dikaji, kata remaja merupakan singkatan dari Rencana Masuk Jannatunnaim (Surga), dan berdasarkan pembahasan tersebut diatas, meski cinta itu bukan sebuah musibah melainkan sebuah anugerah dari Allah SWT yang harus disyukuri dan tidak diingkari, sebab kalau mengingkari perasaan cinta itu, maka sama artinya mengingkari ataupun menolak karunia dari Allah SWT, akan tetapi sebagai generasi Islam, mestinya membedakan makna cinta dengan pacaran.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang ataupun rasa sangat kasih atau tertarik hatinya. Sedangkan pacaran merupakan suatu fase untuk saling “observasi” atau mencari tahu atau penjajagan kepribadian lawan jenis. Maksudnya mengenal dirinya, keluarganya dan lingkungannya. Termasuk mengenal lebih dekat sifat, watak dan kegemaran lawan jenis. Dengan demikian, kelak bisa diketahui apakah layak atau tidak untuk dilanjutkan kejenjang pernikahan.

Kata pacar sendiri berasal dari nama sejenis tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali, tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murah) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai. Jika suatu waktu puas dengan pacarnya, maka dia akan mudah beralih kepada pacarnya yang baru.

Kalau seperti ini, masih perlukah merayakan valentine day? Jawabnya optimis TIDAK, apalagi jika dilihat dari catatan sejarahnya, valentine day ini tidak ada sangkut pautnya dengan Indonesia sekaligus bukan perayaan keagamaan.

Satu hal lagi yang perlu dicatat, bahwa dalam keseharian kita, tentu setiap detik kita rasakan kasih sayang dari orang-orang disekeliling kita, terutama dari kedua orang tua kita dan orang-orang yang kita kasihi. Kasih sayang itu juga kita rasakan datangnya dari Sang Maha Pencipta, dengan mengizinkan kita menggunakan fasilitas di muka bumi ini dengan serba gratis. Oksigen yang kita hirup, Cahaya yang kita gunakan melihat, air yang kita minum adalah sebagian kecil dari karunia yang diturunkan kepada kita sebagai aplikasi kasih sayang-Nya kepada kita umat manusia. Logikanya kasih sayang, terjadi bukan hanya pada tanggal 14 Pebruari, akan tetpi setiap detik dalam kehidupan ummat manusia. Olehnya itu, Syukurilah.


Hartoyo

17110310

5 KA 25

Sastra Indonesia

Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
***
Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
***
Pada zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Maka kita dapat melihat puisi-puisi Amir Hamzah cenderung mengungkapkan nafas sufisme dan kosa kata Melayu kuno (Timur). Ia juga banyak menerjemahkan khazanah kesusastraan Timur, khasnya India. Baghawad Gita dan beberapa terjemahan puisi Tiongkok adalah satu contoh usahanya memperkenalkan khazanah kesusastraan Timur itu. Berbeda dengan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berteriak lantang menganjurkan agar bangsa Indonesia meniru dan berorientasi ke Barat. Hanya dengan itu, menurutnya, bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan. Salah satu novel Sutan Takdir Alisjahbana yang tampak mengusung gagasannya mengenai semangat Barat adalah Layar Terkembang.
Pada masa itu, puisi Indonesia sudah mulai jauh meninggalkangaya pengucapan pantun atau syair. Masuknya pengaruh romantisisme Barat –melalui Angkatan `80 (De Tachtiger Beweging) Belanda— diterima dengan segala penyesuaiannya. Puisi tidak hanya menjadi alat mengangkat dunia ideal, tetapi juga menjadi sarana penyadaran akan kebesaran masa lalu. Romantisisme Pujangga Baru lahir bukan karena kegelisahan atas merosotnya nilai-nilai rohani, spiritualitas, dan terjadinya eksplorasi kekayaan alam, melainkan sekadar mencari bentuk pengucapan baru dalam puisi Indonesia.
***
Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik diIndonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.
Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya, pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.
***
Selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil Anwar menerbitkan Tiga Menguak Takdir (1949) yang menunjukkan penolakan terhadap semangat Pujangga Baru. Menguak Takdir dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua: (1) mengusung semangat perjuangan, bahwa nasib bangsa sangat bergantung pada usaha untuk tidak menyerah pada keadaan, pada nasib, pada takdir. (2) menolak segala gagasan yang dianjurkan Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu (i) kebudayaan bangsa harus ditentukan bukan oleh Timur—Barat, melainkan oleh diri sendiri. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” (ii) bentuk pengucapan dalam puisi tidak perlu lagi dengan bahasa yang mendayu-dayu dan berbunga-bunga, tetapi dengan bahasa sehari-hari yang lugas dan langsung. Chairil Anwar yang menjadi tokoh kunci Angkatan 45 seperti meninggalkan jejak yang begitu kuat dalam peta puisiIndonesia. Pengaruhnya terus bergulir sampai periode berikutnya.
Dalam bidang prosa –novel dan cerpen—pengalaman pahit zaman Jepang dan trauma kegetiran perang kemerdekaan (1945—1949) telah menjadi sumber ilham bagi prosais Indonesia. Maka, Idrus mengangkat kegetiran pada zaman Jepang, Pramoedya Ananta Toer mengeksplorasi pengalamannya semasa menjadi gerilyawan dan berjuang melawan tentara Belanda. Demikian juga Mochtar Lubis, Balfas, Toha Mohtar, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusasto, dan beberapa novelis Indonesia lainnya yang dibesarkan dalam gejolak revolusi, mengangkat pengalaman perang sebagai tragedi kemanusiaan yang amat getir, dan di pihak lain digunakan juga sebagai alat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan.
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an kesusastraan Indonesiaberada dalam situasi yang amat semarak. Selain tentang kisah peperangan, juga muncul semangat kedaerahan dan nafas filsafat eksistensialisme. Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, dan teristimewa Iwan Simatupang adalah beberapa nama yang sangat bersemangat memasukkan filsafat eksistensialisme ke dalam karya-karyanya. Iwan Simatupang kemudian menjadi sastrawan penting ketika novel-novelnya diterbitkan selepas peristiwa tragedi 30 September 1965.
Masa suram kesusastraan Indonesia dan umumnya kehidupan kebudayaan Indonesia terjadi pada paroh pertama dasawarsa tahun 1960-an (1961—1965). Ketika itu, slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kehidupan politik di atas segala-galanya. Kesusastraan dan kebudayaan kemudian digunakan sebagai alat perjuangan politik. Pro dan kontra pun terjadi. Terbelahlah sastrawan Indonesia ke dalam beberapa kubu yang mengerucut menjadi dua kubu besar, yaitu golongan sastrawan yang mengusung semangat humanisme universal dan golongan sastrawan yang mengusung sastra dan kebudayaan sebagai alat perjuangan politik dengan penekanan pada sastra yang berpihak pada rakyat. Kelompok pertama mendeklarasikan sikapnya melalui apa yang disebut “Manifes Kebudayaan” dan kelompok kedua tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berporos pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kehidupan kesusastraan dan kebudayaan dalam masa lima tahun itu benar-benar memasuki situasi yang buruk. Perbedaan pendapat dan ideologi menjadi pertentangan fisik dan serangkaian teror. Pelarangan Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno menandai tersingkirnya kelompok Manifes dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaan, meskipun mereka terus bergerak melakukan perlawanan.
Pecahnya peristiwa 30 September 1965 yang memicu gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa sekaligus menghancurkan dominasi PKI dalam kehidupan politik nasional. Lekra sebagai underbouw PKI tentu saja ikut menjadi korban. Kelompok sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan seperti keluar dari lubang kematian. Mereka kemudian mengusung karya-karya protes. Taufiq Ismail sebagai tokoh kunci gerakan ini menyuarakan semangat perlawanannya melalui puisi. Penyair lain, seperti Bur Rasuanto, Slamet Sukirnanto, Wahid Situmeang, adalah beberapa sastrawan yang ikut menyuarakan semangat perlawanan itu. H.B. Jassin kemudian menyebut gerakan para sastrawan itu sebagai Angkatan 66.
Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa itu berhasil mencapai perjuangannya dengan pembubaran PKI dan kemudian berdampak pada kejatuhan Presiden Soekarno. Praktis PKI beserta para pendukungnya, berada dalam posisi sebagai pecundang. Kalah dalam perjuangan politiknya. Dan Pemerintah yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru melakukan pembersihan. Sastrawan yang tergabung dalam Lekra dengan sendirinya menjadi pihak yang kalah. Mereka ditangkap, dipenjara, dan tokoh-tokoh pentingnya dibuang ke Pulau Buru.
***
Babak baru muncul dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Trauma terhadap campur tangan politik dalam kebudayaan, khususnya kesusastraan, telah memberi kesadaran, bahwa kesusastraan, kesenian, dan secara keseluruhan, kebudayaan, tidak boleh dimasuki kepentingan politik. Kehidupan kebudayaan harus dipisahkan dari kehidupan politik. Tak ada tempat lagi bagi politik untuk masuk dan mengganggu kehidupan kesusastraan. Anggapan bahwa muatan politik hanya akan mengganggu estetika berkesenian menjadi semacam label penting dalam kehidupan kesenian dan lebih khusus lagi, kesusastraan Indonesia. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia ketika politik dianggap tidak berhak lagi memasuki wilayah kesenian dan kesusastraan.
Selepas tahun 1965 dan terutama memasuki pertengahan dasawarsa 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh saluran kebebasan yang lebih luas. Di pihak lain, mereka menolak campur tangan politik. Maka, usaha mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah penggalian pada tradisi, pada sumber kekayaan khazanah kesusastraan sendiri. Di sinilah, kisah-kisah dunia jungkir-balik dalam dongeng-dongeng rakyat menjadi salah satu sumber kreativitas mereka. Selain itu, unsur-unsur mistik Islam—Jawa, sufisme, dan khazanah puisi rakyat, disadari sebagai kekayaan tradisi yang dapat dikemas atau diselusupkan ke dalam bentuk puisi yang lebih modern. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, berhasil memanfaatkan mantera untuk kepentingan estetika puisinya yang mengandalkan kemerduan bunyi. Melalui kredonya yang menolak makna dalam kata, Sutardji menjadi salah satu tokoh kunci penyair Indonesia dasawarsa itu. Arifin C. Noer –dalam drama—berhasil pula memanfaatkan dongeng-dongeng dan teater rakyat, seperti ketoprak dan tanjidor, menjadi unsur penting dalam dramanya. Sementara itu, Kuntowijoyo yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi kejawen, tetapi menyerap juga pengaruh tasawuf dan filsafat Barat (eksistensialisme), berhasil melahirkan sebuah novel, Khotbah di Atas Bukit, yang memperlihatkan percampuran pengaruh-pengaruh itu.
Dasawarsa 1970-an –yang kemudian disebut sebagai Angkatan 70-an— adalah masa berlahirannya karya-karya eksperimentasi. Iwan Simatupang lewat empat novelnya, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan Kooong, tampil sebagai salah seorang maestro novel kontemporer Indonesia. Sejumlah nama lain, tentu saja masih panjang berderet. Tetapi secara umum, mereka mempunyai semangat yang sama, yaitu “kembali ke akar, kembali ke sumber.”
Memasuki dasawarsa 1980-an sampai pertengahan 1990-an, kesusastraan Indonesia seperti bergulir tanpa gejolak menghebohkan, tanpa hiruk-pikuk. Sejumlah karya memang masih tetap lahir dengan daya kejut yang cukup kuat. Ahmad Tohari lewat trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, menyadarkan kita akan dunia wong cilik dan orang-orang yang terpinggirkan. Umar Kayam dalam Para Priyayi mengukuhkan kekayaan kultur Jawa. Kejutan lain muncul ketika Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan tetraloginya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel yang dikatakannya sebagai novel Pulau Buru itu konon ditulis Pram saat ia berada dalam tahanan di Pulau Buru.
Kejutan lain yang juga penting terjadi menjelang berakhir abad ke-20. Ayu Utami melalui novelnya, Saman (1998) mengejutkan banyak pihak terutama keberaniannya dalam mengungkapkan persoalan seks. Selepas itu, bermunculan sastrawan wanita yang dalam beberapa hal justru lebih berani dibandingkan Ayu Utami. Sebutlah misalnya, Dinar Rahayu (Ode untuk Leopold, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet! 2003, dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) 2004), Maya Wulan (Swastika, 2004).
Jauh sebelum Ayu Utami, sejumlah sastrawan wanita sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang cukup penting, seperti Nh Dini, Titis Basino, Marianne Katoppo, Leila Chudori, Ratna Indraswari, Abidah El-Khalieqy, Helvy Tiana Rosa, atau Dorothea Rosa Herliani. Meskipun begitu, kemunculannya makin semarak justru selepas Ayu Utami itu. Boleh jadi, kondisi itu dimungkinkan oleh runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang ketika itu banyak melakukan represi. Maka, begitu ada saluran pembebasan, berlahiranlah pengarang-pengarang wanita dengan keberanian dan kekuatannya masing-masing. Tercatat, beberapa di antaranya, Fira Basuki, Anggie D. Widowati, Naning Pranoto, Ana Maryam, Weka Gunawan, Agnes Jesicca, Ani Sekarningsih, Ratih Kumala, Asma Nadia, Nukila Amal dan Dewi Sartika.
Yang menarik dari sejumlah karya yang ditulis para pengarang wanita ini adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem domestik. Karya-karya mereka tidak lagi berbicara tentang problem rumah tangga –suami-istri, melainkan problem seorang perempuan dalam berhubungan dengan masyarakat kosmopolitan. Maka, di sana, tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku utamanya, seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan masyarakat dunia.


Hartoyo

17110310

5KA 25

tugas softskill

Penduduk, Masyarakat, dan Kebudayaan

Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua:

1. Orang yang tinggal di daerah tersebut
2. Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.

Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.

Masalah-masalah kependudukan dipelajari dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi, ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan dalam pemasaran, yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonomi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial(1).

Selanjutnya, Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara berbagai individu. Dari segi pelaksanaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat – atau tidak dibuat – oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial.

Oleh kerana sesebuah masyarakat yang inginkan kestabilan memerlukan ahli-ahli yang sanggup menolong antara satu sama lain, maka ia perlu kepada nilai-nilai murni seperti kerakyatan, hak dan etika. Ini merupakan perkara asas untuk mencapai keadilan. Jika nilai-nilai ini gagal dipatuhi, orang akan mengatakan sesebuah masyarakat tersebut sebagai tidak adil dan musibah akan berlaku.

Perkataan society datang daripada bahasa Latin societas, “perhubungan baik dengan orang lain”. Perkataan societas diambil dari socius yang bererti “teman”, maka makna masyarakat itu adalah berkait rapat dengan apa yang dikatakan sosial. Ini bermakna telah tersirat dalam kata masyarakat bahawa ahli-ahlinya mempunyai kepentingan dan matlamat yang sama. Maka, masyarakat selalu digunakan untuk menggambarkan rakyat sesebuah negara.

Walaupun setiap masyarakat itu berbeda, namun cara ia musnah adalah selalunya sama: penipuan, pencurian, keganasan, peperangan dan juga kadangkala penghapusan etnik jika perasaan perkauman itu timbul. Masyarakat yang baru akan muncul daripada sesiapa yang masih bersama, ataupun daripada sesiapa yang tinggal(2).

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain(3).

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa(3).

Dalam sebuah masyarakat yang berbudaya, sudah pasti tak terlepas dari masalah-masalah antar penduduk-penduduknya. Tak sedikit penduduk antar ras saling berkontroversi masalah budaya. Misalkan saja Indonesia dengan Malaysia. Kedua Negara tersebut sering sekali saling berkontroveri masalah kepemilikan suatu kebudayaan. Sangat disayang dua bangsa yang sama, yaitu dari etnis melayu tapi mereka tak dapat hidup berdampingan dengan damai. Selain hal tersebut, masih banyak lagi masalah-masalah kependudukan, diantaranya adalah kepadatan penduduk yang terlalu tinggi, laju pertumbuhan penduduk cepat, persebaran penduduk tidak merata, komposisi penduduk yang timpang, dan arus urbanisasi tinggi. Hal-hal seperti tersebut sangat erat kaitannya dengan kebuyaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat suatu Negara. Masyarakat dengan tingkat permasalahan penduduk yang serius sering dijumpai mempunyai kebudayaan yang tidak baik. Diantaranya adalah tingginya tingkat kriminalitas, dan bahkan perilaku tersebut dibawa sampai di sistem pemerintahan ditandai dengan semakin gencarnya tindak pidana korupsi.

Kemudian, masalah-masalah kependudukan tersebut agar tidak menghasilkan kebudayaan yang negatif, maka dirasa perlu tindakan untuk mengatasinya.

  1. Perencanaan, pengaturan, dan pembatasan usia minimal pernikahan.
  2. Perencanaan, pengaturan dan pembatasan kelahiran.
  3. Meratakan persebaran penduduk dengan cara mengadakan program transmigrasi dan melaksanakan pembangunan desa untuk membendung arus urbanisasi.
  4. Memperluas kesempatan kerja, meningkatkan fasilitas pendidikan kesehatan, transportasi, komunikasi, dan perumahan.
  5. Menyelenggarakan pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup yang baik melalui sekolah, kursus-kursus, dan perkumpulan lainnya.
  6. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, hal ini menyebabkan produksi pangan dan produksi hasil pertanian lainnya dapat meningkat.
  7. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersahabat dengan lingkungan.
  8. Perluasan industrialisasi, baik ringan ataupun berat tanpa menimbulkan polusi.
  9. Penggunaan tanah untuk pertanian, perindustrian, dan pemukiman haruslah memperhatikan kelestariannya, supaya tidak merugikan kehidupan manusia di masa depan(4).

Dari kesemuanya itu akar masalah dari kependudukan adalah terjadinya ledakan penduduk. Yang dapat ditekan dengan mengecilkan angka kelahiran dengan melaksanakan point satu dan dua diatas dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya, Dalam demografi, istilah tingkat kelahiran atau crude birth rate (CBR) dari suatu populasi adalah jumlah kelahiran per 1.000 orang tiap tahun. Secara matematika, angka ini bisa dihitung dengan rumus CBR = n/((p)(1000)); di mana n adalah jumlah kelahiran pada tahun tersebut dan p adalah jumlah populasi saat penghitungan. Hasil penghitungan ini digabungkan dengan tingkat kematian untuk menghasilkan angka tingkat pertumbuhan penduduk alami (alami maksudnya tidak melibatkan angka perpindahan penduduk (migrasi).

Indikator lain untuk mengukur tingkat kehamilan yang sering dipakai: tingkat kehamilan total – rata-rata jumlah anak yang terlahir bagi tiap wanita dalam hidupnya. Secara umum, tingkat kehamilan total adalah indikator yang lebih baik untuk tingkat kehamilan daripada CBR, karena tidak terpengaruh oleh distribusi usia dari populasi.

Tingkat kehamilan cenderung lebih tinggi di negara yang ekonominya kurang berkembang dan lebih rendah di negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Metode lain menghitung tingkat kelahiran adalah

  • General fertility rate (GFR) – mengukur angka kelahiran tiap 1.000 wanita yang berusia 15 – 45 tahun.
  • Standardised birth rate (SBR) – membandingkan struktur usia-jenis kelamin.
  • Total fertility rate (TFR) – jumlah rata-rata anak yang diperkirakan akan dilahirkan seorang wanita sepanjang usia produktifnya untuk melahirkan(5).

Berkaitan dengan angka kelahiran, jumlah penduduk pada suatu negara selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi atau perpindahan penduduk. Perubahan keadaan penduduk tersebut dinamakan dinamika penduduk. Dinamika atau perubahan penduduk cenderung kepada pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk ialah perkembangan jumlah penduduk suatu daerah atau negara. Jumlah penduduk suatu negara dapat diketahui melalui sensus, registrasi dan survei penduduk. Jumlah penduduk Indonesia sejak sensus pertama sampai dengan sensus terakhir jumlahnya terus bertambah. Sensus pertama dilaksanakan pada tahun 1930 oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan sensus yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan yang terakhir 2000. Sensus di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan waktu pelaksanaan sensus di Indonesia diadakan sepuluh tahun sekali(6).

Dari kesemua uraian di atas, penduduk, masyarakat, dan kebudayaan sangat erat kaitannya. Seperti kita ketahui bahwa budaya akan berkembang. Budaya baru akan melebur menghapus kebudayaan yang lama walau dalam prosesnya sangat lambat, tapi itu pasti. Untuk itu dibutuhkan penduduk dan masyarakat yang ideal untuk berkembangnya kebudayaan yang baik. Tapi hal ini terkendala dengan masalah-masalah kependudukan, yang berimbas pada masyarakat dan budaya walaupun secara tidak langsung. Masalah utama berasal pada laju pertumbuhan penduduk yang terlalu besar. Dengan semakin banyaknya penduduk sudah pasti akan muncul banyak masalah, diantaranya adalah pengangguran, pendidikan rendah, masalah pangan serta masalah tata ruang. Untuk itu perlu penanggulangan dengan menurunkan angka vertilitas dibandingkan dibandingkan mortalitas. Dengan begitu akan terbentu suatu masyarakat yang berkualitas untuk membangun kebudayaan yang berkualitas pula.


Hartoyo

17110310

5KA25

tugas softskill minggu ke 4

Pemuda dalam Sosialisasinya

Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya terbebani berbagai macam – macam harapan, terutama dari generasi lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan. Di dalam masyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial. Kedudukannya yang strategis sebagai penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya(1).

Sedangkan, Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu(2).

Sepanjang hidupnya, manusia belajar untuk mengolah perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi agar dapat membentuk kepribadiannya sesuai nilai-nilai dan pandangan hidup yang terjadi dalam masyarakat. Kebudayaan tidak diterima manusia sebagai warisan, tetapi melalui proses belajar yang terus berlangsung sepanjang hidupnya. Di dalam masyarakat ada nilai-nilai dan norma yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Proses internalisasi nilai-nilai dan morma ini akan menentukan apakah seorang individu berhasil dicegah melakukan perbuatan criminal atau tindakan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, seperti mencuri, merampok, dan berzinah.

Selain belajar untuk mengenal lingkungan , berpartisipasi didalamnya, dalam proses sosialisasi ini sebenarnya seorang individu juga belajar untuk menghayati kebudayaannya terkait dengan norma, nilai-nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat. Apa yang diajarkan dan dikenalkan orangtua kepada anaknya sejak kecil seperti, menghormati orang tua, berlaku jujur, rajin berdoa, rajin belajar, dan sopan saat makan dan berbicara merupakan contoh-contoh sosialisasi(3).

Sejalan dengan konsep tersebut, maka sosialisasi tata nilai menjadi bagian penting. Oleh karena itu, proses sosialisasi dilakukan dengan perencanaan secara seksama dan memperhatikan konteks budaya serta kebiasaan yang terjadi di lapangan, dalam hal ini situasi dan kondisi RS CND MBO. Dengan pemahaman konteks sebagai dasar, akan menjadikan proses sosialisasi menjadi menarik dan mudah diinternalisasi. Menyadari kondisi tersebut, proses sosialisasi yang dilakukan RS CND MBO dilakukan dengan membangun keterlibatan staf yang dikenal sebagai sosok yang lebih merasa berarti jika didengarkan dan diajak berdiskusi. Kondisi ini ditemukan saat observasi awal dalam proses pengembangan tata nilai pada bulan Desember 2006. Hal ini diperkuat dengan proses perumusan tata nilai yang juga dilakukan dengan model Co-Creation atau pelibatan peserta untuk menemukan apa yang diperlukan yang harus disepakati sebagai tata nilai.

Proses sosialisasi yang melibatkan para peserta secara aktif ini merupakan rangkaian program besar dalam pengembangan budaya kerja. Jika dicermati secara mendalam, tahap ini merupakan tahap permulaan yang dimulai dari proses penemuan tata nilai yang dikehendaki oleh seluruh komponen RS CND MBO dan diakhiri dengan proses sosialisasi. Dengan demikian proses ini masih perlu ditindaklanjuti dan dikembangkan secara mandiri(4).

Selanjutnya, mahasiswa sebagai intelektual muda dan agen perubahan mahasiswa sesungguhnya memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi penerus kepemimpinan bangsa ke depannya. Mahasiswa telah mendapatkan sebuah ruang untuk mampu mengembangkan dan mengaktualisasikan serta mempersiapkan dirinya sebagai komponen yang mampu menjadi problem solving bagi permasalahan bangsa saat ini ke depannya. Ruang aktualisasi tersebut adalah kampus dan masyarakat yang selalu dekat dengan mahasiswa. Kampus adalah tempat bagi mahasiswa untuk belajar, mengemban ilmu berdasarkan core competence masing-masing.

Tak hanya itu, lembaga mahasiswa pun bisa menjadi ajang bagi mahasiswa untuk mengemban ilmu. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak hanya dari buku, ilmu juga dapat digapai dari hasil interaksi dan pengalaman berorganisasi. Kampus dapat diibaratkan sebagai sebuah laboratorium raksasa, di mana mahasiswa bereksperimen dengan berbagai cara, sekadar untuk belajar, mencari tahu dan menggali berbagai potensi yang dimiliki untuk mempersiapkan diri agar kelak ketika terjun dalam realita masyarakat dan negara.

Mahasiswa sebagai kelompok penekan merupakan sebuah peran strategis untuk mengawal dan mengontrol berjalannya sistem pemerintahan ini sesuai dengan harapan masyarakat dan tentunya juga sesuai dengan aturan yang berlaku. Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa dan pemuda senantiasa menjadi tonggak utama dalam proses pengawalan dan pendorong sebuah perubahan. Peran ini tidak lepas dari sebuah panggilan nurani dan idealitas yang telah tumbuh dan berkembang dalam diri seorang mahasiswa atau pemuda(5). Maka dari itu, pembinaan dan pengembagan generasi muda itu perlu.

Pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 0323/U/1978 tanggal 28 Oktober 1978. Maksud dari pola pembinaan dan pengembangan generasi muda adalah agar semua pihak yang turut serta dan berkepentingan dalam penanganannya benar-benar menggunakan sebagai pedoman sehingga pelaksanaannya dapat terarah, menyeluruh dan terpadu serta berlangsung secara terus-menerus.

Oleh karena itu pada tahapan dan pembinaannya, melalui proses kematangan dirinya dan belajar pada berbagai media sosialisasi yang ada di masyarakat sehingga diharapkan pemuda dapat hidup ditengah-tengah masyarakat dan memiliki motivasi sosial yang tinggi. Oleh karena itu penting adanya pemberdayaan karang taruna guna meningkatkan peran serta pemuda dalam kehidupan bermasyarakat(6).

Dalam hal ini Pembinaan dan pengembangan generasi muda menyangkut dua pengertian pokok yaitu [3] :

a. Generasi muda sebagai subyek pembinaan dan pengembangan adalah mereka yang telah memiliki bekal-bekal dan kemampuan serta landasan untuk dapat mandiri dalam keterlibatannya secara fungsional bersama potensi lainnya, guna menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bengsa dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara serta pembangunan nasional.

b. Generasi muda sebagai obyek pembinaan dan pengembangan ialah mereka yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuan –kemampuannya ke tingkat yang optimal dan belum dapat bersikap mandiri yang melibatkan secara fugsional.

Selain peranannya yang begitu besar, generasi muda juga menghadapi banyak masalah. Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Sakhyan Asmara memaparkan 10 masalah yang dihadapi pemuda Indonesia saat ini. Masalah-masalah karakter pemuda itu antara lain masih maraknya tindak kekerasan dikalangan pemuda, adanya kecenderungan sikap ketidakjujuran yang semakin membudaya, berkembangnya rasa tidak hormat pada orang tua, guru dan pemimpin;, sikap rasa curiga dan kebencian satu sama lain.

Selain itu, dalam karakter para pemuda juga didapati kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia dengan semakin memburuk; berkembangnya perilaku menyimpang di kalangan pemuda (narkoba, pornoaksi /pornografi, dll), kecenderungan mengadopsi nilai-nilai budaya asing dan melemahnya idealisme, patriotisme serta mengendapnya spirit of the nation, meningkatnya sikap pragmatisme dan hedonisme, serta kecenderungan semakin kaburnya pedoman moral yang berlaku dan sikap acuh tak acuh terhadap ajaran agama.

“Kami mengantisipasi masalah ini dengan berbagai program, di antaranya melaksanakan pendidikan kesadaran bela negara pemuda, jambore pemuda Indonesia, bakti pemuda antar Provinsi, pertukaran Pemuda Antar Negara, serta pembentukan kader pengembangan moral etika pemuda Indonesia.,” kata Sakhyan dalam konferensi pers Peringatan 101 Tahun Hari Kebangkitan Nasional di Gedung Departemen Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Jum’at (15/5).

Sakhyan menegaskan, kebijakan pemerintah (Kemenegpora) dalam melaksanakan pembangunan kepemudaan ada dua, yakni penguatan pembentukan karakter bangsa serta peningkatan kapasitas dan daya saing pemuda(7).

Potensi-potensi yang ada pada generasi muda perlu dikembangkan adalah :

a) Idealisme dan daya kritis

b) Dinamika dan kreatifitas

c) Keberanian mengambil resiko

d) Optimis kegairahan semangat

e) Sikap kemandirian dan disiplin murni

f) Terdidik

g) Keanekaragaman dalam persatuan dan kesatuan

h) Patriotisme dan nasionalisme

i) Sikap kesatria

Potensi yang dimiliki oleh generasi muda diharapkan mampu meningkatkan peran dan memberikan kontribusi dalam mengatasi persoalan bangsa. Persoalan bangsa, bahkan menuju pada makin memudarnya atau tereliminasinya jiwa dan semangat bangsa, sebagaimana yang dimaksudkan Socrates sebagai discovery of the soul . Berbagai gejala sosial dengan mudah dapat dilihat, mulai dari rapuhnya sendi-sendi kehidupan masyarakat, rendahnya sensitivitas sosial, memudarnya etika, lemahnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan, kedudukan dan jabatan bukan lagi sebagai amanah penederitaan rakyat, tak ada lagi jaminan rasa aman, mahalnya menegakan keadilan dan masih banyak lagi problem sosial yang kita harus selesaikan.

Hal ini harus menjadi catatan agar pemuda lebih memiliki daya sensitivitas, karena bangsa ini sesungguhnya sedang menghadapi problem multidimensi yang serius, dan harus dituntaskan secara simultan tidak fragmentasi. Oleh karena itu, rekonstruksi nilai-nilai dasar bangsa ke depan perlu bberapa langkah strategis dalam mengatasi persoalan bangsa ; pertama, komitmen untuk meningkatkan kemandirian dan martabat bangsa. Kemandirian dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia adalah terpompanya harga diri bangsa. Seluruh aktivitas pembangunan sejauh mungkin dijalankan berdasar kemampuan sendiri, misalnya dengan menegakkan semangat berdikari.

Kedua, harmonisasi kehidupan sosial dan meningkatkan ekspektasi masyarakat sehingga berkembang mutual social trust yang berawal dari komitmen seluruh komponen bangsa. Pelaksanaan hukum, sebagai benteng formal untuk mengatasi korupsi, tidak boleh dipaksa tunduk pada kemauan pribadi pucuk pimpinan negara. Ketiga, penyelenggara negara dan segenap elemen bangsa harus terjalin dalam satu kesatuan jiwa Kata kucinya adalah segera terwujudnya sistem kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa di mata rakyat yang memiliki integritas tinggi (terpercaya, jujur dan adil), adanya kejelasan visi (ke depan) pemimpin yang jelas dan implementatif, pemimpin yang mampu memberi inspirasi (inspiring) dan mengarahkan (directing) semangat rakyat secara kolektif, memiliki semangat jihad, komunikatif terhadap rakyat, mampu membangkitkan semangat solidaritas (solidarity maker) atau conflict resolutor.

Dan untuk pemuda, mereka harus mampu memperjuangkan sistem nilai-nilai yang merepresentasikan aspirasi, sensitivitas dan integritas para generasi muda terhadap gejala ketidakadilan yang terjadi di masyarakat(8)

Para pemuda/generasi muda termasuk mahasiswa merupakan kelompok penekan yang memiliki posisi untuk mengawal dan mengontrol jalannya sistem pemerintahan sesuai dengan harapan masyarakat Dilihat dari sejarah, mahasiswa dan generasi mudalah yang senantiasa menjadi tonggak dalam pendorong perubahan. Termasuk diantaranya adalah dalam peristiwa rengasdenglok yang berujung pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini. Generasi muda mempunyai andil yang sangat besar dalam berjalannya sebuah Negara. Tapi, disamping perannya tersebut, generasi muda pula merupakan penyebab masalah yang serius. Maka dari itu perlulah untumembina dan mengembangkan potensi generasi muda muda kearah positif. Misalnya dalam wadah Karang Taruna. Sehingga kegiatan-kegiatan generasi muda dapat tersalur kearah yang baik, dan mampu melahirkan generasi muda yang berguna. Sedang untuk mahasiswa, lebih baik bila mereka diarahkkan untuk menngikuti kegiatan ekstrakurikuler, sehingga mereka dapat menyalurkan kontribusinya dan tidak terjerumus ke tindakan yang negative. Karena disadari atau tidak kegiatan-kegiatan semacam ini dapat meminimalisir terjadinya hal-hal negatif oleh para generasi muda termasuk mahasiswa.


Hartoyo

17110310

5KA 25